Seri Prediksi Tren Data Center 2026 – Bagian 4 dari 4
Selama satu dekade terakhir, industri teknologi terbiasa dengan istilah hyperscale sebagai tulang punggung komputasi awan. Namun, ledakan kecerdasan buatan generatif telah memaksa industri ini berevolusi lebih cepat dari perkiraan. Kita kini meninggalkan era pusat data konvensional dan memasuki fase “Mega-Hyperscale” atau sering disebut sebagai AI Superfactory.
Perbedaan utamanya terletak pada densitas energi dan karakteristik beban kerja. Jika cloud tradisional melayani jutaan permintaan kecil yang terpisah, AI membutuhkan ratusan ribu chip yang bekerja serentak sebagai satu otak raksasa. Hal ini mengubah total cara fasilitas ini dibangun dan dioperasikan.
Apa Itu AI Superfactory dan Perbedaannya
Secara definisi, AI Superfactory adalah fasilitas data center yang dirancang khusus untuk melatih satu model kecerdasan buatan yang masif, bukan sekadar menyimpan data atau menjalankan aplikasi web.
Berbeda dengan data center cloud tradisional yang terdiri dari ribuan server independen, AI Superfactory menghubungkan puluhan hingga ratusan ribu unit pemrosesan grafis (GPU) menjadi satu klaster komputasi raksasa. Dalam fasilitas ini, seluruh gedung berfungsi layaknya satu komputer super (single supercomputer). Tujuannya adalah meminimalkan latensi data antar-chip dan memaksimalkan efisiensi daya untuk proses pembelajaran mesin yang intensif.
Tantangan Infrastruktur di Balik Pelatihan Generative AI
Untuk memahami skala masif ini, kita bisa melihat apa yang terjadi pada pemain teknologi terbesar dunia saat ini. Pelatihan satu model AI mutakhir kini membutuhkan fasilitas yang dibangun dengan kecepatan dan kapasitas yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebagai contoh, fasilitas superkomputer “Colossus” milik xAI di Memphis dibangun hanya dalam 122 hari untuk menampung 100.000 GPU yang kini sedang berekspansi menuju 200.000 unit. Skala ini menciptakan kebutuhan energi yang begitu besar dan mendadak, sehingga pengembang harus menggunakan pembangkit listrik mandiri karena jaringan lokal tidak sanggup menyuplai daya tambahan secara instan.
Di sisi lain, hambatan utama industri saat ini bukan lagi ketersediaan chip, melainkan ketersediaan soket listrik. Petinggi Microsoft bahkan sempat mengungkapkan bahwa mereka memiliki ribuan GPU canggih yang tersimpan di gudang karena belum ada kapasitas daya yang siap untuk menyalakannya. Ini membuktikan bahwa dalam era AI, daya listrik adalah komoditas paling berharga.
Kampus 100MW Sebagai Standar Baru Industri
Dahulu, fasilitas berkapasitas 30 hingga 50 Megawatt (MW) sudah dianggap sebagai kampus hyperscale besar. Namun karena kebutuhan pelatihan AI yang rakus energi, definisi “besar” telah bergeser drastis. Fasilitas modern kini dirancang dengan target ratusan Megawatt hingga skala Gigawatt dalam satu lokasi kampus.
Pergeseran standar ini terjadi secara global, termasuk di Asia. Para penyedia infrastruktur kini berlomba membangun kapasitas jumbo untuk mengakomodasi gelombang permintaan AI regional. Sebagai ilustrasi, Digital Edge DC tengah aktif mengembangkan fasilitas berkapasitas di atas 100MW hingga 300MW di beberapa negara seperti Korea Selatan, India, Indonesia, dan Thailand. Kesiapan menyediakan infrastruktur berskala ratusan megawatt kini menjadi syarat mutlak bagi pemain data center yang ingin tetap relevan di pasar global.
Revolusi Teknis Menangani Panas dan Densitas Ekstrem
Peralihan ke “AI Superfactory” juga mengubah spesifikasi teknis di dalam gedung secara fundamental. Rak server tradisional untuk aplikasi web biasanya hanya mengonsumsi 5-10kW daya. Sebaliknya, rak AI modern yang berisi chip generasi terbaru seperti NVIDIA Blackwell dapat mengonsumsi lebih dari 100kW per rak.
Implikasinya sangat besar pada sistem pendinginan. Pendingin udara (AC) konvensional tidak lagi memadai untuk menangani panas yang dihasilkan oleh densitas setinggi itu. Fasilitas masa depan kini wajib mengadopsi teknologi liquid cooling (pendingin cair) yang dialirkan langsung ke chip untuk menjaga performa komputasi tetap optimal.
Kesimpulan
Arah pengembangan pusat data sudah sangat jelas. Kita sedang bertransisi dari sekadar fasilitas penyimpanan data menjadi fasilitas pembangkitan kecerdasan digital. Dalam era Mega-Hyperscale ini, pusat data tidak lagi hanya dilihat dari luas persegi bangunannya, melainkan dari seberapa besar dan andal pasokan daya yang dimilikinya. Pemenang dalam perlombaan AI ini bukanlah mereka yang hanya memiliki algoritma terbaik, tetapi mereka yang memiliki infrastruktur fisik paling tangguh untuk menjalankannya.



